ditulis
oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
Sebuah
kemenangan besar (Al-Fathu Al-A’zham) yang dengannya Allah Subhanahuwata’ala
memuliakan Islam, Rasul-Nya, tentara-Nya dan membebaskannegeri dan rumah-Nya
yang Dia jadikan petunjuk bagi seluruh alam dari kekuasaan orang-orang kafir
dan musyrikin.
Sebab-Sebab
Peperangan
Sebelum
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam diutus, biasa terjadi di kalangan
masyarakat ‘Arab jahiliah peperangan dan perampokan. Begitu pula antara Bani
Khuza’ah dan Bani Bakr.
Pasalnya,
ada seorang laki-laki Bani Al-Hadhrami, seorang pedagang ternama melewati
wilayah Khuza’ah, tiba-tiba dia disergap lalu dibunuh dan hartanya dirampas.
Kemudian, Bani Bakr balas membunuh salah seorang anggota Bani Khuza’ah.
Mendengar itu, Khuza’ah balas menyerang Bani Al-Aswad, yaitu Kultsum, Salma,
dan Dzuaib. Orang-orang Khuza’ah membunuh mereka di tapal batas dekat ‘Arafah
(antara daerah halal dan haram).
Setelah
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam diutus ke tengah-tengah mereka,
berhentilah pertikaian itu di antara mereka. Masing-masing sibuk dengan
urusannya.
Ketika
terjadi Perjanjian Hudaibiyah antara Rasulullah shollallahu ‘alaihi
wasallam dan orang-orang
kafir Quraisy, salah satu isi perjanjian adalah bolehnya siapa saja bergabung
dengan salah satu dari kedua pihak tersebut.
Ternyata
dendam lama yang berkarat di hati orang-orang Bani Bakr berkobar, meletuskan
penyerangan terhadap Bani Khuza’ah.
Di
sebuah mata air bernama Al-Watir, di bawah pimpinan Naufal bin Mu’awiyah
Ad-Daili, mereka menyergap dan membunuh 20 orang dari Khuza’ah, dalam keadaan
mereka tidak siap untuk berperang. Kejadian ini semakin berat karena ada
beberapa orang Quraisy memberi bantuan kepada Bani Bakr dengan perbekalan dan
senjata. Bahkan di antara mereka menurut sebagian ahli sejarah ada yang ikut
berperang sembunyi-sembunyi di malam hari, yaitu Shafwan bin Umayyah, Huwaithib
bin ‘Abdul ‘Uzza, dan Mikraz bin Hafsh.
Akhirnya
Bani Khuza’ah mundur dan melarikan diri sampai masuk ke tanah Haram Makkah.
Mereka mengingatkan Naufal: “Hai Naufal. Kami sudah berada di tanah Haram.
Tuhanmu, tuhanmu!”
Naufal
membalas dengan ucapan yang sangat buruk dan keji: “Tidak ada tuhan lagi bagi
tanah Haram hari ini! Hai Bani Bakr, tuntaskan dendam kalian. Demi hidupku.
Dahulu kalian mencuri di tanah haram, maka sekarang mengapa kalian tidak selesaikan
dendam kalian di sini?”
Setelah
masuk di tanah Haram, Bani Khuza’ah segera menemui Budail bin Warqa’ dan maula mereka Rafi’.
Berangkatlah
‘Amr bin Salim Al-Khuza’i menemui Rasulullah shollallahu ‘alaihi
wasallam di Madinah. Saat
itu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam sedang duduk di masjid di
tengah-tengah para sahabatnya. ‘Amr bin Salim segera masuk dan menyampaikan
peristiwa menyedihkan yang menimpa Bani Khuza’ah.
Tak
lama kemudian, Budail bin Warqa’ dan beberapa orang Bani Khuza’ah juga berangkat
menemui Rasulullah shollallahu
‘alaihi wasallam di Madinah
menceritakan apa yang baru menimpa mereka, juga tindakan Quraisy yang memberi
bantuan kepada Bani Bakr menyerang mereka. Setelah itu, mereka kembali ke
Makkah.
Quraisy
Mengutus Abu Sufyan
Rasulullah shollallahu
‘alaihi wasallam berkata:
“Sepertinya kalian akan melihat Abu Sufyan. Dia datang untuk memperbarui
perjanjian dan menambah waktunya.”[1]
Di
tengah perjalanan, Budail dan rombongan bertemu dengan Abu Sufyan yang diutus
pihak Quraisy untuk memperbarui perjanjian. Quraisy akhirnya ketakutan sendiri
melihat akibat perbuatan mereka.
Abu
Sufyan bertanya kepada Budail: “Dari mana kalian?” Dia sudah menyangka Budail
dari tempat Nabi n.
Budail
menjawab: “Aku membawa Bani Khuza’ah melewati pantai dan lembah ini.”
Kata
Abu Sufyan: “Apa bukan menemui Muhammad (n)?”
Budail
mengelak dan mengatakan: “Tidak.”
Setelah
Budail bertolak menuju Makkah, Abu Sufyan berkata sendiri: “Kalau dia
mendatangi Madinah, tentu kendaraannya makan kurma.” Maka diapun mendekati
tempat istirahat mereka lalu mengorek sebagian kotoran unta dan memeriksanya,
ternyata di dalamnya terdapat butiran biji kurma.
“Aku
bersumpah demi Allah, sungguh Budail sudah menemui Muhammad,” kata Abu Sufyan.
Akhirnya
Abu Sufyan segera bertolak menuju Madinah. Setiba di Madinah, dia menemui
putrinya Ummi Habibah . Ketika Abu Sufyan hendak duduk, Ummu Habibah menarik
tikar Rasulullah shollallahu
‘alaihi wasallam. Melihat ini, Abu Sufyan berkata: “Hai ananda, apakah kau
lebih suka kepada tikar ini daripadaku atau lebih suka kepadaku dari tikar
ini?”
Ummu
Habibah menjawab: “Ini adalah tikar Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam,
sedangkan ayah adalah seorang musyrik yang kotor.”
Abu
Sufyan marah dan mencerca: “Demi Allah, sungguh, semoga engkau ditimpa
kejelekan sepeninggalku.”
Setelah
itu, Abu Sufyan menemui Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dan mengajak beliau bicara tentang perjanjian,
tapi tidak ditanggapi oleh beliau. Kemudian dia menemui beberapa sahabat utama
seperti Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Ali . Tetapi mereka tidak memberi jawaban, bahkan
dia menerima sikap tegas ‘Umar yang mengatakan: “Apa aku harus memberi bantuan
kepadamu menemui Rasulullah shollallahu
‘alaihi wasallam? Demi Allah, seandainya aku tidak menemukan apa-apa selain
setangkai kayu niscaya aku perangi kamu dengannya.”
Kemudian
dia pun menemui ‘Ali bin Abi Thalib yang ketika itu bersama Fathimah dan Hasan
yang sedang merangkak di hadapan keduanya. Dia berkata: “Hai ‘Ali, engkau yang
paling dekat kekeluargaannya denganku, sedangkan aku datang untuk satu
keperluan. Sungguh, aku tidak akan kembali sebagaimana aku datang dalam keadaan
kecewa. Bantu aku menemui Muhammad.”
Kata
‘Ali: “Celaka engkau, hai Abu Sufyan. Demi Allah, sungguh, Rasulullah shollallahu
‘alaihi wasallamsudah bertekad melakukan sesuatu yang kami tidak sanggup
mengajak beliau bicara dalam urusan ini.”
Abu
Sufyan menoleh kepada Fathimah, katanya: “Maukah engkau menyuruh anakmu ini,
agar dia memberi jaminan perlindungan di antara orang banyak, hingga kelak dia
akan menjadi pemuka bangsa ‘Arab sepanjang masa?”
Kata
Fathimah: “Demi Allah, mana mungkin anakku menerima kedudukan itu, mampu
memberi jaminan perlindungan kepada manusia? Tidak ada seorangpun yang memberi
pembelaan di hadapan Rasulullahshollallahu ‘alaihi wasallam.”
Abu
Sufyan berkata pula: “Wahai Abul Hasan, sungguh aku lihat urusan ini sangat
menyusahkanku, beri aku nasihat.”
Kata
‘Ali: “Demi Allah, aku tidak tahu apa yang berguna bagimu. Tapi engkau adalah
pemuka Bani Kinanah. Berdirilah, buatlah pembelaan terhadap manusia, kemudian
kembalilah ke kampungmu.”
Abu
Sufyan menukas: “Apakah itu berguna bagiku?”
Kata
‘Ali: “Demi Allah, aku tidak yakin. Tapi aku tidak menemukan yang lain.”
Akhirnya
Abu Sufyan bangkit menuju Masjid Nabi lalu berkata: “Hai kaum muslimin, sungguh
aku telah memberi jaminan perlindungan kepada orang banyak.” Setelah itu diapun
menaiki untanya dan kembali ke Makkah menemui kaum Quraisy.
Melihat
keadaan Abu Sufyan mereka berseru: “Berita apa yang kau bawa?”
Abu
Sufyan menjelaskan: “Aku sudah menemui Muhammad dan mengajaknya bicara, tapi
demi Allah, dia tidak menjawab sedikitpun. Kemudian aku temui putra Abu Quhafah
(Abu Bakr), dia juga tidak menjawabku sedikitpun. Setelah itu aku menemui
‘Umar, ternyata dia musuh paling keras. Akhirnya aku temui ‘Ali bin Abi Thalib
dan ternyata dia paling lunak. Dia memberi saran agar aku melakukan sesuatu.
Demi Allah, aku tidak tahu apa itu berguna atau tidak?”
Kata
mereka: “Apa yang disarankannya?”
“Dia
sarankan agar aku memberi perlindungan kepada orang banyak, maka akupun
melaksanakannya,” kata Abu Sufyan.
Orang-orang
Quraisy berkata: “Apa Muhammad mengizinkan?”
“Tidak,”
katanya.
“Kamu
sudah dipermainkan orang itu,” kata mereka.
“Aku
tidak menemukan cara lain, demi Allah,” kata Abu Sufyan lagi.
Akhirnya,
Quraisy mulai menyesali perbuatan mereka. Ketakutan mulai menyelinap di hati
mereka.
Persiapan
Nun,
di kota suci Madinah, Nabi n yang mulia sudah bertekad memberi
pelajaran kepada orang-orang kafir Quraisy sekaligus membebaskan Makkah dari
cengkeraman kaum paganis. Hal ini, sesudah taufiq dari Allah tentunya, juga
didukung beberapa sebab. Di antaranya:
1. Semakin bertambahnya kekuatan di dalam tubuh kaum
muslimin, di Madinah khususnya. Tidak ada lagi gangguan dari kaum Yahudi, di
sekitarnya. Orang-orang munafik juga semakin ciut nyali mereka.
2. Semakin lemahnya kekuatan musuh, dalam hal ini
orang-orang kafir Quraisy.
Rasulullah shollallahu
‘alaihi wasallam mulai
memerintahkan kaum muslimin bersiap. Beliau pun memerintahkan keluarganya
membuat persiapan. Melihat ini, sebagian sahabat bertanya-tanya. Ke mana
gerangan Rasulullah n mengarahkan mereka?
Abu
Bakr masuk menemui putrinya ‘Aisyah yang sedang menata perlengkapan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam.
Katanya: “Wahai putriku, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kalian membuat persiapan
untuk beliau?”
“Ya,”
kata ‘Aisyah.
“Menurutmu,
beliau ingin ke mana?” tanya Abu Bakr.
“Demi
Allah, saya tidak tahu,” jawab ‘Aisyah.
Akhirnya
Rasulullah n memberitahukan juga bahwa beliau
bersiap-siap menuju Makkah. Beliaupun perintahkan agar kaum muslimin
bersiap-siap dan sungguh-sungguh.
Ibnu
Ishaq menceritakan, ketika itu beliau berdoa: “Ya Allah, jauhkan mata-mata dan
berita dari orang Quraisy hingga kami tiba di negeri mereka.”
Kaum
muslimin pun bersiap-siap.
(insya
Allah bersambung)
[1] Zadul Ma’ad 3/396.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar