Sebuah
peperangan yang menentukan, Al-Fathul A’zham (kemenangan besar), menumpas
tuntas keberadaan paganisme (keberhalaan). Sama sekali tidak memberi tempat
bagi ajaran paganis sedikitpun bahkan tidak pula melegitimasi kesyirikan dalam
bentuk apapun walau sesingkat apapun waktunya.
Maka dengan kekuatan
sekitar 10.000 orang, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dan
kaum muslimin bertolak menuju Makkah di bulan Ramadhan yang penuh berkah, tahun
ke-8 hijriyah.
Surat Rahasia
Hathib bin Abi Balta’ah
Telah diceritakan
sebelumnya, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam mengadakan
persiapan yang sangat hati-hati dan rahasia. Keluarga dan orang yang paling
dekat lagi dicintai oleh beliau sekalipun tidak tahu ke mana beliau hendak
menuju.
Rasulullah shollallahu
‘alaihi wasallam sendiri juga berdoa kepada Allah Subhanahuwata’la:
“Ya Allah, jauhkan mata-mata dan berita dari orang Quraisy hingga kami tiba di
negeri mereka.”
Doa beliau dikabulkan
oleh Allah Subhanahuwata’ala. Beliau juga melakukan langkah lain untuk
mengalihkan perhatian mata-mata musuh, dengan mengirimkan pasukan kecil ke
tempat lain. Misalnya pasukan Abu Qatadah ke Bathn Idham[1] yang
berjumlah delapan orang. Sehingga orang akan mengira beliau hendak menyerang
mereka yang berada di wilayah tersebut.
Ketika pasukan ini tiba
di daerah tersebut dan tidak menemukan apa-apa, mereka terus berjalan hingga
tiba di Dzu Khusyub (35 mil ke arah Syam dari kota Madinah). Sampailah berita
kepada mereka bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam sudah
bertolak menuju Makkah. Pasukan pun berangkat menyusul dan bertemu dengan
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam di As-Suqya.
Di saat Rasulullah n
menyelesaikan persiapan untuk bertolak menuju Makkah, ternyata Hathib telah
menulis surat untuk kafir Quraisy bermaksud membocorkan rencana Rasulullah shollallahu
‘alaihi wasallam. Akan tetapi Allah Subhanahuwata’ala menampakkan kepada
Rasul-Nya keadaan surat itu. Lalu beliau pun mengirim ‘Ali, Zubair, dan Miqdad
bin Al-Aswad mengejar wanita yang membawa surat Hathib untuk kemudian
mengambil surat tersebut.
Al-Imam Al-Bukhari dan
Muslim meriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib dengan sanad shahih yang
menceritakan:
بَعَثَنِي رَسُولُ اللهِ n أَنَا وَالزُّبَيْرَ وَالْمِقْدَادَ بْنَ
الْأَسْوَدِ قَالَ: انْطَلِقُوا حَتَّى تَأْتُوا رَوْضَةَ خَاخٍ فَإِنَّ بِهَا
ظَعِينَةً وَمَعَهَا كِتَابٌ فَخُذُوهُ مِنْهَا. فَانْطَلَقْنَا تَعَادَى بِنَا
خَيْلُنَا حَتَّى انْتَهَيْنَا إِلَى الرَّوْضَةِ، فَإِذَا نَحْنُ بِالظَّعِينَةِ
فَقُلْنَا: أَخْرِجِي الْكِتَابَ. فَقَالَتْ: مَا مَعِي مِنْ كِتَابٍ. فَقُلْنَا:
لَتُخْرِجِنَّ الْكِتَابَ أَوْ لَنُلْقِيَنَّ الثِّيَابَ. فَأَخْرَجَتْهُ مِنْ
عِقَاصِهَا فَأَتَيْنَا بِهِ رَسُولَ اللهِ n فَإِذَا فِيهِ مِنْ حَاطِبِ بْنِ أَبِي
بَلْتَعَةَ إِلَى أُنَاسٍ مِنَ الْمُشْرِكِينَ مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ يُخْبِرُهُمْ
بِبَعْضِ أَمْرِ رَسُولِ اللهِ n فَقَالَ رَسُولُ اللهِ n: يَا حَاطِبُ، مَا هَذَا؟ قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، لاَ تَعْجَلْ
عَلَيَّ، إِنِّي كُنْتُ امْرَأً مُلْصَقًا فِي قُرَيْشٍ وَلَمْ أَكُنْ مِنْ
أَنْفُسِهَا وَكَانَ مَنْ مَعَكَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ لَهُمْ قَرَابَاتٌ
بِمَكَّةَ يَحْمُونَ بِهَا أَهْلِيهِمْ وَأَمْوَالَهُمْ، فَأَحْبَبْتُ إِذْ
فَاتَنِي ذَلِكَ مِنَ النَّسَبِ فِيهِمْ أَنْ أَتَّخِذَ عِنْدَهُمْ يَدًا
يَحْمُونَ بِهَا قَرَابَتِي، وَمَا فَعَلْتُ كُفْرًا وَلَا ارْتِدَادًا وَلَا
رِضًا بِالْكُفْرِ بَعْدَ الْإِسْلَامِ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ n: لَقَدْ صَدَقَكُمْ. قَالَ عُمَرُ: يَا
رَسُولَ اللهِ، دَعْنِي أَضْرِبْ عُنُقَ هَذَا الْمُنَافِقِ. قَالَ: إِنَّهُ قَدْ
شَهِدَ بَدْرًا، وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ اللهَ أَنْ يَكُونَ قَدِ اطَّلَعَ عَلَى
أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ: اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ
Rasulullah n mengutus
saya dan Zubair serta Miqdad bin Al-Aswad, kata beliau: “Berangkatlah hingga
tiba di Raudhatu Khah, karena di sana ada seorang wanita yang sedang dalam
perjalanan membawa sepucuk surat. Ambillah surat itu darinya.”
Kami pun berangkat,
dalam keadaan kuda-kuda kami berlari cepat hingga kami tiba di Raudhah.
Ternyata kami dapati seorang wanita sedang dalam perjalanan.
“Keluarkan surat itu!”
kata kami. Wanita itu berkata: “Tidak ada surat apapun pada saya.” “Kamu
keluarkan surat itu atau kami telanjangi kamu?” gertak kami.
Akhirnya wanita itu
mengeluarkannya dari gelungan rambutnya. Lalu kami bawa surat itu kepada
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam.Ternyata isinya dari Hathib bin
Abi Balta’ah kepada orang-orang musyrik Makkah. Dia mengabarkan kepada mereka
sebagian urusan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam. “Wahai Hathib,
apa ini?” kata Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam.
Hathib segera menyahut:
“Wahai Rasulullah, janganlah terburu-buru terhadapku. Sesungguhnya aku hanyalah
seseorang yang menumpang di tengah-tengah bangsa Quraisy dan bukan bagian dari
mereka. Sedangkan kaum Muhajirin yang bersama engkau, mereka di Makkah
mempunyai kerabat yang akan melindungi keluarga dan harta mereka. Maka karena
saya tidak punya hubungan nasab dengan mereka, saya ingin berbuat jasa untuk
mereka agar mereka pun menjaga kerabatku. Saya lakukan ini bukan karena
kekafiran, bukan pula karena saya murtad, dan bukan pula karena ridha dengan
kekafiran sesudah Islam.”
Rasulullah shollallahu
‘alaihi wasallam berkata: “Sungguh, dia jujur kepada kalian.” ‘Umar
berkata: “Wahai Rasulullah, biarkan saya tebas leher orang munafiq ini.”
Kata Rasulullah shollallahu
‘alaihi wasallam: “Sesungguhnya dia pernah ikut perang Badr. Tahukah engkau,
boleh jadi Allah telah memerhatikan ahli Badr, lalu berfirman: ‘Berbuatlah
sekehendak kalian, sungguh telah Aku ampunkan untuk kalian’.”[2]
Walhamdulillah, surat
itu tidak sampai ke tangan Quraisy. Ini merupakan nikmat dari Allah
Subhanahuwata’ala bagi kaum muslimin dan Hathib secara khusus, karena tidak
tercapai keinginannya.
Dalam dialog singkat
antara Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dan ‘Umar bin
Al-Khaththab ini, dapat kita ambil pelajaran yang sangat penting
sekaligus membantah sebagian prinsip kaum Khawarij yang menyempal dari Islam.
Pelajaran tersebut antara lain adalah:
1. Seorang mata-mata
boleh dihukum mati, walaupun dia seorang muslim. Ini menurut pendapat Al-Imam
Malik serta ulama yang menyetujuinya. Rasulullah n sendiri
tidak menyalahkan ‘Umar, tetapi beliau mencegah jatuhnya hukuman itu karena
Hathib termasuk salah seorang sahabat yang ikut perang Badr. Keistimewaan ini
tidak akan terjadi lagi sampai hari kiamat.
2. Teguhnya ‘Umar
berpegang dengan ajaran Islam, terlihat ketika beliau minta izin menebas leher
Hathib.
3. Dosa besar tidak
mencabut keimanan (dari seseorang), karena apa yang dilakukan Hathib
(membocorkan urusan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam) adalah
dosa besar, tetapi beliau tetap dikatakan mukmin (orang yang beriman). Bahkan
dalam hadits itu disebutkan pula adanya ampunan dari Allah Subhanahuwataa’la
untuk mereka.
Al-Hafizh Ibnu Hajar ketika
menjelaskan makna ampunan dari Allah l tersebut mengatakan: “Artinya, dosa-dosa
kalian itu diampuni oleh Allah walau bagaimanapun terjadinya. Bukan berarti
mereka tidak pernah berbuat dosa.”[3]
4. ‘Umar menyebutkan
istilah munafiq kepada Hathib dengan pengertian bahasa; bukan pengertian
menurut syariat; menyembunyikan kekafiran tapi menampakkan keislaman. Tapi
beliau katakan demikian karena Hathib menyembunyikan sesuatu yang menyelisihi
apa yang ditampakkannya, yaitu dengan mengirimkan suratnya yang bertolak
belakang dengan keimanannya (berjihad di jalan Allah Subhanahuwata’ala).
5. ‘Umar terkesan
dengan bantahan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam sehingga
dalam sekejap, dia yang tadinya begitu marah dan menuntut agar Hathib dihukum
berat, berubah menangis karena takut dan terkesan dengan sabda Rasulullah shollallahu
‘alaihi wasallam, seraya berkata: “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.”
Rasulullah n melanjutkan
rencananya bersama kaum muslimin. Allah Subhanahuwata’ala pun menghalangi
berita ini sampai kepada kaum Quraisy yang tentu saja sangat ketakutan melihat
akibat tindakan mereka sendiri. Akhirnya, Abu Sufyan, Hakim bin Hizam, dan
Budail bin Warqa’ berusaha mencari-cari berita.
Abu Sufyan Masuk Islam
Pada waktu itu, ‘Abbas
bin ‘Abdul Muththalib sudah bertolak meninggalkan kota Makkah bersama
keluarganya, sebagai muhajir. Di tengah perjalanan, di daerah Juhfah, dia
bertemu dengan Rasulullahshollallahu ‘alaihi wasallam. Mereka pun
singgah di Marri Zhahran untuk beristirahat pada waktu malam.
Rasulullah shollallahu
‘alaihi wasallam memerintahkan kepada pasukan agar masing-masing
mereka menyalakan api. Akhirnya terlihat lebih dari sepuluh ribu obor menyala menerangi
pasukan.
Malam itu, ‘Abbas
dengan baghal Rasulullah n berkeliling mencari ranting atau seseorang untuk
menyampaikan kepada Quraisy agar datang meminta jaminan keamanan kepada
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam sebelum beliau
memasuki kota Makkah dengan kekerasan.
‘Abbas menceritakan:
Demi Allah, sungguh saya betul-betul berjalan malam itu, sampai tiba-tiba saya
dengar suara Abu Sufyan berbincang-bincang dengan Budail bin Warqa’. Kata Abu
Sufyan: “Aku tidak pernah melihat api dan pasukan seperti ini sebelumnya.”
Kata Budail: “Demi
Allah, ini adalah Khuza’ah yang dibakar dendam untuk berperang.”
Kata Abu Sufyan:
“Khuza’ah terlalu kecil dan lemah untuk bisa seperti ini apinya.”
Saya segera berseru:
“Abu Hanzhalah?!”
Dia mengenal suaraku:
“Abul Fadhl?!”
“Ya,” kataku.
Dia berkata: “Bapak
ibuku jadi tebusanmu, ada apa ini?”
Saya katakan: “Ini
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersama pasukan
muslimin. Celakalah Quraisy besok pagi, demi Allah.”
Dia bertanya: “Lalu apa
akal (untuk selamat)?”
Saya katakan: “Demi
Allah, kalau dia berhasil menangkapmu, dia pasti menebas lehermu. Ayo ikut aku
naik baghal ini agar aku bawa engkau menemui beliau dan meminta perlindungan
untukmu.”
Dia pun ikut membonceng
di belakang, sementara dua temannya tadi segera kembali. Setiap kali melewati
api kaum muslimin, mereka bertanya: “Siapa ini?” Tapi kalau mereka melihat
kami, mereka berkata: “Paman Rasulullah n, di atas baghalnya.”
Akhirnya kami melewati
api milik ‘Umar. Diapun berkata: “Siapa ini?” Dia berdiri mendekatiku. Begitu
melihat Abu Sufyan, dia segera berkata: “Musuh Allah? Alhamdulillah, Yang telah
memberi kekuasaan terhadap kamu tanpa perjanjian dan kesepakatan.”
Dia pun bersegera
menuju ke kemah Rasulullah n, dan saya pun memacu baghal itu agar mendahului
‘Umar. Saya pun berusaha mendahuluinya menemui Rasulullah shollallahu
‘alaihi wasallam, tapi dia juga menyusul, dan segera berkata: “Wahai
Rasulullah, ini Abu Sufyan. Allah telah memberi anda kekuasaan terhadapnya
tanpa perjanjian dan kesepakatan, maka biarkan saya menebas lehernya.”
Saya segera menukas:
“Wahai Rasulullah, saya telah memberi jaminan keamanan buat Abu Sufyan.”
Ketika ‘Umar terus
meminta izin kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, aku
pun berkata: “Perlahan, hai ‘Umar. Kalau dia ini dari Bani ‘Adi bin Ka’b, tentu
kau tak akan berkata begini.”
‘Umar membalas:
“Tunggu, hai ‘Abbas. Demi Allah, sungguh keislamanmu lebih aku cintai daripada
keislaman Al-Khaththab (bapak ‘Umar) kalaupun dia masuk Islam. Mengapa tidak,
karena keislamanmu lebih dicintai oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi
wasallam daripada keislaman Al-Khaththab.”
Rasulullah shollallahu
‘alaihi wasallam pun berkata: “Bawa dia pergi ke tempatmu, hai ‘Abbas.
Besok pagi bawa dia kepadaku.”
Aku pun melaksanakan
perintah beliau.
Esok harinya, aku
membawa Abu Sufyan menemui Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam.
Kemudian beliau pun berkata: “Celaka engkau, hai Abu Sufyan! Apa belum tiba
waktunya kau tahu bahwasanya tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah?”
Abu Sufyan berkata:
“Demi bapak dan ibuku tebusanmu, alangkah santunnya engkau. Alangkah pemurah
dan hebatnya engkau menyambung tali silaturrahmi!! Demi Allah, sungguh aku
sudah menyangka seandainya bersama Allah ada yang lain tentulah dia
menyelamatkanku.”
Beliau berkata lagi:
“Celaka engkau, Abu Sufyan. Apa belum tiba waktunya kau tahu bahwa aku adalah
Rasul Allah?”
Kata Abu Sufyan: “Demi
bapak dan ibuku tebusanmu, alangkah santunnya engkau. Alangkah pemurah dan
hebatnya engkau menyambung tali silaturrahmi!! Adapun ini, dalam diriku sampai
saat ini masih ada ganjalan.”
‘Abbas segera berkata
kepadanya: “Celaka engkau, cepat masuk Islam sebelum lehermu ditebas.”
Lalu dia pun
mengucapkan syahadat yang haq dan masuk Islam. ‘Abbas berkata: “Sebetulnya Abu
Sufyan ini orang yang suka dihormati, maka berilah dia sesuatu.”
Kata Rasulullah shollallahu
‘alaihi wasallam: “Baik. Siapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan, maka dia
aman. Siapa yang mengunci rumahnya, dia aman. Dan siapa yang masuk ke dalam
Masjid (Al-Haram) dia aman.”
Ketika dia hendak
kembali, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam berkata:
“Wahai ‘Abbas, tahan dia di tempat sempit di lembah ini, dekat lereng bukit
agar dia melihat bala tentara Allah melintas.”
Aku pun berangkat untuk
menahannya di tempat tersebut.
Satu persatu barisan
tentara Allah itu lewat di hadapan Abu Sufyan. Setiap satu kabilah
melintasinya, dia bertanya: “Ini kabilah apa?”
“Ini kabilah Sulaim,”
kata ‘Abbas.
“Apa urusanku dengan
Sulaim?” kataAbu Sufyan.
Kemudian lewat pula
satu kabilah, Abu Sufyan bertanya lagi: “Ini kabilah apa?”
Kata ‘Abbas: “Ini
Muzayyinah.”
Abu Sufyan menukas:
“Apa urusanku dengan Muzayyinah?”
Demikianlah, hingga dia
melihat Rasulullah n bersama pasukan hijau yang di dalamnya terdapat kaum
Muhajirin dan Anshar. Tidak satu pun dia lihat dari mereka melainkan sikap yang
lebih keras daripada besi. Sementara Rasulullah shollallahu ‘alaihi
wasallam berada di atas untanya Al-Qushwa, di antara Abu Bakr dan
Usaid bin Hudhair.
Sementara bendera
pasukan Anshar dibawa Sa’d bin ‘Ubadah, sedangkan bendera Nabi n bersama
Az-Zubair. Abu Sufyan berkata melihat pasukan tersebut: “Subhanallah, hai
‘Abbas siapa mereka ini?”
Kata ‘Abbas: “Ini
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam di tengah-tengah kaum
Muhajirin dan Anshar.”
Abu Sufyan pun
berkomentar: “Hai Abul Fadhl, akhirnya kerajaan anak saudaramu ini telah
menjadi kekuatan besar.”
‘Abbas segera
membantah: “Wahai Abu Sufyan, inilah nubuwwah.”
“Betul, kalau begitu,”
sahut Abu Sufyan.
Ketika Sa’d bin ‘Ubadah
melintasi Abu Sufyan dan melihatnya, dia pun berkata: “Hari ini hari
pertumpahan darah. Hari ini dihalalkan kehormatan. Hari ini Allah hinakan
Quraisy.”
Mendengar ini, Abu
Sufyan mengadu kepada Rasulullah n ketika beliau berpapasan dengannya: “Engkau
memerintahkan agar memerangi kaummu sendiri? Sa’d dan yang bersamanya
mengatakan bahwa dia memerangi kami. Hari ini hari pertumpahan darah. Hari ini
dihalalkan kehormatan. Hari ini Allah hinakan Quraisy. Saya sumpahi engkau demi
Allah, tentang urusan kaummu. Engkau adalah orang paling baik di antara mereka,
paling penyayang dan menyambung kasih sayang.”
‘Utsman dan
‘Abdurrahman bin ‘Auf menimpali: “Wahai Rasulullah, kami tidak merasa aman
dengan sikap Sa’d, kalau-kalau dia menyerang Quraisy.”
Maka Rasulullah n
segera menukas: “Wahai Abu Sufyan, hari ini adalah hari kasih sayang. Hari ini
Allah memuliakan Quraisy.”
Kemudian beliau
perintahkan mengambil bendera dari Sa’d dan menyerahkannya kepada putranya Qais
bin Sa’d bin ‘Ubadah, sehingga tidak keluar dari (keluarga)nya.
‘Abbas berkata kepada
Abu Sufyan: “Pulanglah.” Setelah dia menemui mereka, Abu Sufyan berteriak
dengan keras: “Wahai seluruh bangsa Quraisy. Ini Muhammad, dia datang kepada
kalian dengan pasukan yang tidak mungkin kalian hadapi. Siapa yang masuk ke
rumah Abu Sufyan dia aman.”
Tiba-tiba istrinya,
Hindun bintu ‘Utbah segera berdiri menarik kumisnya dan membentak: “Bunuh
manusia gendut yang tak berguna ini.”
Abu Sufyan tetap
berseru: “Celaka kalian, jangan hiraukan perempuan ini, selamatkan diri kalian.
Siapa yang masuk rumah Abu Sufyan, dia selamat. Siapa yang masuk ke Masjid
Al-Haram, dia selamat dan siapa yang mengunci pintu rumahnya, dia selamat.”
Sebagian mereka
menyahut: “Apa untungnya kami masuk rumahmu?”
Akhirnya mereka
berpencar menyelamatkan diri. Ada yang masuk ke dalam rumahnya, ada pula yang
menuju Masjid Al-Haram.
Perlahan tapi pasti,
Rasulullah n mulai mendekati pintu kota Makkah. Beliau pun membelitkan
sorbannya dan menundukkan kepalanya dalam-dalam hingga hampir menyentuh
punggung kendaraannya, bersyukur memuji Allah, melihat kemuliaan yang Allah l
berikan kepadanya. Dahulu beliau keluar dari Makkah dalam keadaan terusir,
dihinakan. Kini beliau kembali ke kampung halaman, dalam keadaan mulia dan
dimuliakan.
Semoga shalawat dan
salam senantiasa Allah l limpahkan untukmu, wahai junjungan.
(bersambung)
[1] Sebuah
lembah di Madinah yang terkumpul padanya tiga lembah lain yaitu Bath-han, Qanah
dan Al-‘Aqiq.
[2] Ini
adalah lafadz dari riwayat Al-Imam Al-Bukhari dalam Kitab Jihad was
Siyar.
[3] Lihat Fathul
Bari (8/635), cet. Darul Ma’rifat, Beirut.
(Sumber
www.asysyariah.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar